Desa Bogem Cikal Bakal Dawet Bayat

Jum'at, 14 Oktober 2016 - 15:25 WIB
Desa Bogem Cikal Bakal...
Desa Bogem Cikal Bakal Dawet Bayat
A A A
KLATEN - Rasa manis gula Jawa, cendol, dan gurihnya santan kelapa berpadu menjadi pelepas dahaga yang sempurna saat mentari bersinar cukup terik. Dawet sendiri merupakan salah satu kuliner khas Klaten, khususnya Dawet Bayat.

Hampir diseluruh pelosok dapat dengan mudah dijumpai penjual Dawet Bayat. Dawet dijual dengan sangat khas. Penjual menggunakan sepasang salang dari rotan dan keduk atau kuali gerabah. Keduk digunakan sebagai tempat cendol dan santan, serta satu lagi untuk juruh (cairan gula Jawa).

Namun siapa sangka, jika Dawet Bayat ternyata berasal dari desa kecil di bawah pegunungan kapur seribu. Desa Bogem Kecamatan Bayat yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Gunungkidul merupakan desa cikal bakal Dawet Bayat. Hampir seluruh penjual Dawet Bayat berasal dari Desa Bogem.

Ketika pagi hari mereka meninggalkan rumah untuk berjualan dawet. Baru pada sore hari atau setelah dagangan habis mereka pulang. Kondisi ini terlihat saat SINDO YOGYA mencoba menyambangi produsen Dawet Bayat di Desa Bogem, kemarin siang. Sebagian besar produsen dawet sudah pergi untuk berjualan.

Sekretaris Desa (Sekdes) Bogem Kecamatan Bayat Panut Sutanto mengemukakan, penduduk Bogem sekitar 2.178 jiwa. Dari jumlah tersebut, 100 orang bekerja sebagai penjual dawet. ”Sejak dahulu sampai sekarang banyak warga yang jualan dawet. Bahkan ada dukuh namanya Dukuh Cendolan,” katanya saat ditemui di Kantor Kepala Desa Bogem, Kamis (13/10/2016).

Penamaan Dukuh Cendolan tak lepas dari historis wilayah tersebut karena menjadi asal mula penjual cendol atau dawet. Kini usaha dawet berkembang ke enam dukuh lainnya, Mutihan, Prengguk, Bogem, Jambon, Bendareja, dan Pututmati. Sedangkan wilayah penjualan Dawet Bayat meluas hingga daerah sekitar Klaten seperti Gunungkidul, Wonogiri, Kota Solo, Kota Yogya, dan lainnya.

Usaha dawet pun banyak dijalankan oleh generasi muda. Salah satunya, Partisipasi, 45, warga Dukuh Mutihan Desa Bogem. Bapak tiga anak ini melanjutkan usaha turun temurun yang dirintis keluarganya. Mulanya usaha dawet dirintis oleh sang kakek, Reso Sentono dan dilanjutkan anaknya, Yoso Sumarto. Baru setelah Yoso Sumarto meninggal, estafet usaha dawet berlanjut ke generasi ketiga, Partisipasi.

”Ada tiga bahan inti untuk membuat dawet, yakni cendol, juruh, dan santan. Cendol dibuat dari pati aren, juruh menggunakan gula Jawa,” kata Partisipasi.

Untuk membuat cendol, pati aren dicampur air hingga didapat endapan tepung pati aren. Selanjutnya endapan tepung pati disaring berulang kali hingga mendapat tepung yang halus dan bersih bebas kotoran serta serat kayu. Tepung pati kemudian dimasak menjadi bubur dan dituangkan ke dalam cetakan agar menetes membentuk cendol.

Menariknya, ukuran cendol di tiap daerah tidak sama tergantung karena menyesuaikan konsumen di wilayah target pemasaran. Dicontohkan, untuk dawet yang dijual di Gunungkidul ukuran cendol lebih besar daripada cendol yang dijual di wilayah Klaten. Cendol di Gunungkidul rata-rata berdiameter 6mm, sedangkan cendol Klaten hanya 4-4,5 mm.

”Diamater beda tapi panjang tetap sama, sekitar 2cm. Kenapa ukuran beda? Karena cendol ukuran besar dimaksudkan selain segar juga bisa kenyang setelah minum dawet. Tapi cendol yang lebih kecil dapat segarnya saja, dikunyah pun akan lebih sulit karena begitu minum langsung tertelan,” terang dia.

Partisipasi menjelaskan, kunci utama citarasa dawet berada pada juruh dan santan. Penjual dawet asal Desa Bogem tak main-main untuk memberikan citarasa terbaik dengan bahan baku berkualitas. Gula Jawa yang digunakan hanya gula yang berasal dari Kulonprogo karena rasa manisnya yang pas, gurih, dan lebih harum.

Bahan baku kelapa dipilih butir kelapa yang masih utuh, segar, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Pemilihan usia kelapa berpengaruh pada citarasa santan yang dihasilkan. Jika kelapa terlalu muda, rasa gurih sulit didapat. Sedangkan kelapa terlalu tua tidak akan menghasilkan santan meski rasanya sangat gurih. Bahan baku kelapa didapat dari lokal Bayat, Gunungkidul, dan paling jauh dari Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.

Dalam sehari, kebutuhan pati aren untuk 100 penjual dawet Desa Bogem mencapai dua kuintal. Sedangkan kebutuhan kelapa sebanyak 800 butir, dan gula Jawa 600kg. Partisipasi mengaku, pemilihan bahan baku berkualitas berpengaruh pada modal yang dikeluarkan produsen. Kelapa misalnya, untuk satu butir kelapa seharga Rp 6.000-6.500. Harga ini sedikit lebih mahal dibanding kelapa pasaran pada umumnya. Gula Jawa dari Kulonprogo saat ini mencapai Rp24.500/kg.

Dawet Bayat rata-rata dijual seharga Rp2.500-3.000 per gelas atau mangkok kecil. Untuk satu kilogram cendol, penjual mampu meraup omzet sekitar Rp 200 ribu. Bahkan penjual Dawet Bayat yang membuka lapak di kawasan Bogem Kecamatan Kalasan meraih omzet hingga Rp 6 juta per hari saat musim liburan, long weekend, dan lebaran.

”Tapi kalau musim hujan ya sangat pengaruh. Bisa turun sampai 50%. Karena cendol enggak tahan untuk disimpan lama, sekali produksi hanya untuk satu hari. Kalau tidak habis dibuang, padahal saat hujan pembeli berkurang,” kata Partisipasi yang sehari-harinya berjualan Dawet Bayat di Jalan Baron Kabupaten Gunungkidul.

Segarnya usaha dawet menarik minat Sarjinem, 38, warga Dukuh Jambon Desa Bogem. Sejak tiga tahun terakhir, dia memilih berjualan dawet dan meninggalkan pekerjaan sebelumnya sebagai perajin batik tulis.

Setiap hari, Sarjinem berjualan dawet di emperan toko di dekat pertigaan jalan masuk obyek wisata Makam Sunan Pandanaran, Kecamatan Bayat. Satu gelas es dawet dibanderol Rp 2.500. Meski hanya di emperan toko dan mengandalkan alas tikar seadanya, Sarjinem selalu bersabar menunggu pembeli sejak pukul 10.00-16.00.

”Kalau ramai bisa sampai 30 gelas per hari. Jualan dawet sepertinya lebih menjanjikan daripada membatik,” katanya sembari meracik es dawet.
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1274 seconds (0.1#10.140)